PENDIDIKAN
Islam adalah sebuah sarana atau pun furshoh untuk menyiapkan masyarakat
muslim yang benar-benar mengerti tentang Islam. Di sini para pendidik
muslim mempunyai satu kewajiban dan tanggung jawab untuk menyampaikan
ilmu yang dimilikinya kepada anak didiknya, baik melalui pendidikan
formal maunpun non formal.
Pendidikan Islam berbeda dengan pendidikan yang lain. Pendidikan Islam lebih
mengedepankan nilai-nilai keislaman dan tertuju pada terbentuknya
manusia yang berakhlakul karimah serta taat dan tunduk kepada Allah
semata. Sedangkan pendidikan selain Islam, tidak terlalu memprioritaskan
pada unsur-unsur dan nilai-nilai keislaman, yang menjadi prioritas
hanyalah pemenuhan kebutuhan indrawi semata.
Indonesia
adalah sebuah negara besar yang memiliki penduduk ratusan juta jiwa.
Indonesia juga adalah negara yang mayoritas penduduknya memeluk agama
Islam. Menurut sebuah perhitungan manusia Muslim Indonesia adalah jumlah
pemeluk agam Islam terbesar di dunia. Jika dibanding dengan
negara-negara Muslim lainnya, maka penduduk Muslim Indonesia dari segi
jumlah tidak ada yang menandingi. Jumlah yang besar tersebut sebenarnya
merupakan sumber daya manusia dan kekuatan yang sangat besar, bila mampu
dioptimalkan peran dan kualitasnya. Jumah yang sangat besar tersebut
juga mampu menjadi kekuatan sumber ekonomi yang luar biasa. Jumlah yang
besar di atas juga akan menjadi kekuatan politik yang cukup signifikan
dalam percaturan nasional.
Namun
realitas membuktikan lain. Jumlah manusia Muslim yang besar tersebut
ternyata tidak mamiliki kekuatan sebagaimana seharusnya yang dimiliki.
Jumlah yang sangat besar di atas belum didukung oleh kualitas dan
kekompakan serta loyalitas manusia Muslim terhadap sesama, agama, dan
para fakir miskin yang sebagian besar (untuk tidak mengatakan semuanya)
adalah kaum Muslimin juga. Kualitas manusia Muslim belum teroptimalkan
secara individual apalagi secara massal. Kualitas manusia Muslim
Indonesia masih berada di tingkat menengah ke bawah. Memang ada satu
atau dua orang yang menonjol, hanya saja kemenonjolan tersebut tidak
mampu menjadi lokomotif bagi rangkaian gerbong manusia Muslim lainnya.
Apalagi bila berbicara tentang kekompakan dan loyalitas terhadap agama,
sesama, dan kaum fakir miskin papa. Sebagian besar dari manusia Muslim
yang ada masih berkutat untuk memperkaya diri, kelompok, dan pengurus
partainya sendiri. Masih sangat sedikit manusia Muslim Indonesia yang
berani secara praktis-bukan hanya orasi belaka-memberikan bantuan dan
pemberdayaan secara tulus ikhlas kepada sesama umat Islam, khususnya
para kaum fakir miskin papa.
Paradoksal
fenomena di atas, yakni jumlah manusia Muslim Indonesia yang sangat
besar akan tetapi tidak memiliki kekuatan ideologi, kekuatan politik,
kekuatan ekonomi, kekuatan budaya, dan kekuatan gerakan adalah secara
tidak langsung merupakan dari hasil pola pendidikan Islam selama ini.
Pola dan model pendidikan Islam yang dikembangkan selama ini masih
berkutat pada pemberian materi yang tidak aplikatif dan praktis. Bahkan
sebagian besar model dan proses pendidikannya terkesan “asal-asalan”
atau tidak professional. Selain itu, pendidikan Islam di Indonesia
negara tercinta mulai tereduksi oleh nilai-nilai negatif gerakan dan
proyek modernisasi yang kadang-kadang atau secara nyata bertentangan
dengan ajaran Islam itu sendiri.
Tulisan
ini mencoba untuk memberikan gambaran secara global tentang pendidikan
Islam Indonesia saat ini sebagai landasan awal untuk meneropong
moralitas bangsa di masa depan. Moralitas masa depan bangsa menjadi
sangat penting untuk diteropong, karena didasarkan pada asumsi awal
sebagian pakar yang berpendapat bahwa salah satu factor penyebab atau
“biang keladi” terjadi dan berlangsungnya krisis multidimensional negara
Indonesia adalah masalah moralitas bangsa yang sangat “amburadul” dan
tidak “karu-karuan”.
Kalau
kita kembali kepada sejarah pendidikan Islam di Indonesia, maka kita
akan temukan bahwa pada awal munculnya pendidikan Islam tidak terlepas
dari peran para pembawa Islam ke Indonesia sendiri. Jadi sebelum
pendidikan Islam ada, terlebih dahulu Indonesia dimasuki oleh para
penyebar Islam, walaupun menurut kajian sejarah bahwa para ahli berbeda
pendapat tentang waktu dan pembawanya masuknya Islam ke Indonesia. Ada
yang mengatakan pada abad ke-7 seperti yang dikatakan HAMKA dalam
Seminar Sejarah Masuknya Agama Islam di Indonesia (1963). Ada lagi yang
mengatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-13. Teori ini
dicetuskan oleh seorang orintalis Snouck Hurgronje, yang belajar agama
puluhan tahun di mekkah dengan tujuan untuk menghancurkan Islam dari
dalam.
Terlepas
dari perbedaan tersebut, pendidikan Islam di Indonesia telah ada
semenjak Islam masuk ke Indonesia. Yaitu, melalui dakwah mereka dalam
menyebarkan Islam, walaupun bentuknya tidak formal seperti
sekolah-sekolah yang ada sekarang. Seperti, sambil berdagang mereka
mendakwahkan Islam. Seiring perjalanan sejarah, pendidikan Islam semakin
tahun semakin mengalami perkembangan. Apalagi setelah muncul dua
organisasi besar Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama’ (NU). Kedua
organisasi ini bergerak dalam bidang dakwah melalui pendidikan, ada yang
dengan sistem klasik dan ada yang modern.
Misalnya,
Muhammadiyah pada awal berdirinya 18 November 1912 M mendirikan
madrasah pertamanya yaitu Al-Qism Al-Arqo’. Madrasah ini didirikan oleh
KH. Ahmad Dahlan Pendiri Muhammadiyah sendiri, dan sekarang berubah nama
menjadi PP. Muallimin Muallimat Jogjakarta. Pendidikan semacam ini
didirikan oleh Muhammadiyah untuk mengimbangi pendidikan kolonial
Belanda yang cenderung jauh dari nilai-nilai keislaman, bahkan cenderung
meracuni bangsa.
Sedangkan
NU yang didirikan tanggal 31 Januari 1926 M, walaupun menurut sejarah
pernah masuk dan menjadi partai politik dan menjadi kontenstan dalam
pemilu 1955 dan 1971, organisasi ini tetap menaruh perhatian besar
terhadappendidikan Islam.
Memang NU tidak bergerak melalui madrasah-madrasah atau sekolah umum
seperti Muhammadiyah, akan tetapi mayoritas pendidikan Islam di NU
banyak berkembang di dalam pesantren yang di gunakan sebagai tempat
pengkaderan.
Walaupun
jalan yang ditempuh oleh kedua organisasi ini dalam mengembangkan
pendidikan Islam berbeda, akan tetapi tetap tujuan utamanya sama, yaitu
sama-sama ingin menjadikan Islam tetap berkembang di Indonesia melalui
cara-cara yang menurut masing-masing biasa dilakukan. Sekarang kita
melihat kondisi pendidikan Islam di era modern ini, apakah metode atau
jalan yang ditempuh oleh Muhammadiyah dan NU, yang dulunya berbeda
tersebut sekarang bisa mengarah pada persatuan. Dan menimbulkan
kesadaran pada masing-masing?.
Kita
lihat sekarang Muhammadiyah yang pada mulanya tidak terlalu
berkecimpung dalam dunia pesantren dalam mengembangkan pendidikan Islam,
akan tetapi sekarang sudah mulai memperhatikannya bahkan sudah banyak
pesantren-pesantren yang didirikan Muahammadiyah. Kesadaran ini muncul
setelah nampak di tengah-tengah Muhammadiyah apa yang dinamakan dengan
“krisis ulama’. Relevan dengan ini ialah pendapat Karim yang dikutip
oleh Khozin M.Si (2006) dalam bukunya Sejarah Pendidikan Islam “efektivitas pendidikan dan pengajaran agama melalui pesantren juga telah disadari oleh Muhammadiyah yang sepanjang sejarahnya menaruh perhatian pada sistem pendidikan modern”.
Adapun
NU yang pada mulanya banyak mencurahkan perhatiannya terhadap dunia
pesantren dalam mengembangkan pendidikan Islam, sekarang sudah mulai
sadar akan pentingnya dunia sekolah yang cenderung modern dan mengikuti
perkembangan zaman. Apalagi di era yang teknologinya serba canggih,
Realitas saat ini Keterpurukan dan keterbelakangan pendidikan nasional
saat ini tentu mempunyai dampak yang signifikan terhadap pendidikan
Islam. Walaupun pada dasarnya secara historis saat ini pendidikan Islam
mengalami perubahan-perubahan dan perkembangan yang signifikan juga
dibanding dengan kondisi pendidikan Islam sebelumnya yang berlaku di
Indonesia.
Apalagi
setelah munculnya SKB 3 Mentri, yaitu Menteri Pendidikan, Menteri Agama
dan Menteri Kebudayaan. Dengan ketentuan bahwa ijazah madrasah
mempunyai nilai yang sama dengan ijazah sekolah umum yang setingkat,
Lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum setingkat lebih atas,
dan madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat begitupun
sebaliknya.
Walaupun
demikian, tidak dapat dinafikan bahwa masih banyak lembaga-lembaga
Islam yang jauh tertinggal. Menurut Abd. Assegaf Pendidikan Islam di
Indonesia saat ini bisa dibilang mengalami intellectual deadlock
(kebuntuan intelektual).
Indikasinya
adalah minimnya upaya pembaharuan dalam pendidikan Islam, Praktik
pendidikan Islam selama ini masih memelihara budaya lama yang tidak
banyak melakukan pemikiran kreatif, inovatif dan kritis terhadap isu-isu
aktual, model pembelajaran yang masih menekankan pada pendekatan
intelektualisme verbalistik dan mengenyampingkan urgensi interactive
education and communication antara guru dan murid, orientasi pendidikan
Islam lebih menitikberatkan pada pembentukan insan sebagai abdun (hamba)
bukan pada fitrohnya sebagai kholifah di bumi.
Melihat
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat, Maka
pendidikan Islam dituntut untuk bergerak dan mengadakan inovasi-inovasi
dalam pendidikan. Mulai dari paradigma, sistem pendidikan dan metode
yang digunakan. Ini dimaksudkan agar perkembangan pendidikan Islam tidak
tersendat-sendat. Sebab kalau pendidikan Islam masih berpegang kepada
tradisi lama yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan
IPTEK, maka pendidikan Islam akan buntu.
Menurut
Rahmat Ismail (dalam Khozin, 2006) bahwa ada beberapa hal yang perlu
dibangun dan diperbaiki kembali dalam pendidikan Islam supaya dapat
berkembang sesuai dengan perkembangan zaman, yaitu:
Pertama :
Rekontruksi paradigma, dengan mengganti paradigma yang lama dengan
paradigma baru, bahwa konsep pendidikan yang benar harus selalu sesuai
dengan kebutuhan masyarakat dan perkembangan zaman. Rekontruksi ini
diharapkan dapat menyelesaikan masalah-masalah yang sedang dihadapi
pendidikan Islam, yakni keluar dari belenggu dikotomi ilmu pengetahuan,
keluar dari sistem pendidikan yang doktrinir dan otoriter, terlepas dari
penyimpangan profesionalitas pendidik.
Kedua :
Memperkuat landasan moral. Kita melihat pengaruh dari globalisasi yang
telah menimpa Indonesia, moral barat dengan mudahnya masuk ke dalam
negari ini dan dapat mempengaruhi masyarakat Indonesia, Maka sangat
urgen sekali kalau moral para praktisi pendidikan Islam dibangun dan
dibentuk dengan kokoh, supaya tidak terpengaruh dengan budaya barat
tersebut.
Ketiga :
Menguasai lebih dari dua bahasa.
Keempat :
Menguasai komputer dan berbagai program dasarnya.
Kelima :
Pengembangan kompetensi kepemimpinan.
Adapun
menurut hemat penulis agar pendidikan Islam terus berkembang dan selalu
sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, Maka perlu
adanya integrasi antara pendidikan Islam Tradisional (pesantren) yang
sepanjang sejarahnya dikembangkan oleh NU dan pendidikan Islam modern
yang dikembangkan oleh Muhammadiyah. Pendidikan Pesantren diharapkan
untuk tetap dapat menjaga originilitas ulama’. Sedangkan pendidikan
Islam modern diharapkan dapat menyesuaikan dengan perkembangan IPTEK.
Dalam kaedah usul dikatakan “al-muhafadhoh ‘alal qodimis soleh wal akhdu
biljadidil ashlah (menjaga tradisi lama yang baik, dan mengambil
tradisi baru yang lebih baik)”
Selain
itu juga perlu adanya rekontruksi metode atau model pembelajaran yang
digunakan di dalam pendidikan Islam. Dalam hal ini pendidikan Islam
dapat menggunakan metode pembelajaran CTL (Contextual Teaching and
Learning). Ini diharapkan dapat mengukuti tuntutan anak modern yang
selalu kritis dan lebih berpikiran maju dari anak zaman dahulu yang
cenderung manut dan tunduk terhadap apa yang disampaikan guru.
Pendidikan
Islam ke depan harus lebih memprioritaskan kepada ilmu terapan yang
sifatnya aplikatif, bukan saja dalam ilmu-ilmu agama akan tetapi juga
dalam bidang teknologi. Sebab selama ini Pendidikan Islam terlalu
terkonsentrasikan pada pendalaman dikotomi halal haram dan sah batal,
namun terlalu mengabaikan kemajuan IPTEK yang menjadi sarana untuk
mencapai kemajuan di era modern ini.
Bila
dianalisis lebih jeli selama ini, khususnya sistem pendidikan Islam
seakan-akan terkotak-kotak antara urusan duniawi dengan urusan ukhrowi.
Ada pemisahan antara keduanya. Sehingga dari paradigma yang salah itu,
menyebabkan umat Islam belum mau ikut andil atau berpasrtisipasi banyak
dalam agenda-agenda yang tidak ada hubungannya dengan agama atau sains
sebaliknya. Sebagai permisalan tentang sains, sering kali umat Islam
Phobia dan merasa sains bukan urusan agama. Dalam hal ini ada pemisahan
antara urusan agama yang berorientasi akhirat dengan sains yang dianggap
hanya berorientasi dunia saja.
Sejarah
telah mencatat, pada awal abad VIII umat Islam telah menorehkan tinta
emas kemajuan iptek jauh sebelum terjadinya revolusi Industri yang
diagung-agungkan bangsa Eropa. Kala itu, Ilmuwan-ilmuwan Islam dapat
meletakkan dasar kemajuan iptek yang tentu saja atas dasar agama.
Diantara ilmuwan seperti, Abu Bakr Muhammad bin Zakariya ar-Razi (Razes
[864-930 M]) yang dikenal sebagai ‘dokter Muslim terbesar’, atau pakar
kedokteran Abu Ali Al-Hussain Ibn Abdallah Ibn Sina (Avicenna [981-1037
M]) yang hasil pemikirannya The Canon of Medicine (Al-Qanun fi At Tibb)
menjadi rujukan utama ilmu kedokteran di eropa. Al Kawarijmi Jabir Ibnu
Hayyan yang meninggal tahun 803 M disebut-sebut sebagai Bapak Kimia.
Algoritma yang kita kenal dalam pelajaran matematik itu berasal dari
nama seorang ahli matematik Muslim bernama Muhammad bin Musa
Al-Khwarizmi (770-840M)
Ilmuwan
muslim telah diakui menjadi “jembatan” yang menghubungkan Pra-revolusi
dengan kemajuan eropa melalui revolusi industri yang sempat diklaim
merubah dunia. Lantas apa yang menyebabkan Islam dapat bersinar kala
itu?. Alasannya adalah peran Islam dalam mengembangkan iptek sangatlah
luar biasa. Selain ilmuwan-ilmuwan yang bekerja keras, ditambah
pemerintahan yang mendukung dengan rela menyewa penerjemah-penerjemah
untuk menenjemahkan warisan-warisan ilmuan kuno Yunani. Sehingga nampak
bahwa Islam tidak hanya berorientasi pada agama, tetapi juga turut
mengembangkan iptek yang sebelumnya dianggap berorientasi pada dunia.
Saat
ini bangsa Eropa dan Amerika sedang berada pada posisi atas, mereka
memegang peran yang signifikan dalam penguasaan seluruh tataran
kehidupan di dunia. Hal ini sesuai dengan Sunatullah yang menyebutkan
bahwa, akan ada pergiliran kekuasaan di antara manusia dan ini adalah
sebuah kepastian. “Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, kami
pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran) …” Namun
pergilirian ini terjadi, selain atas izin Allah, juga bergulir sesuai
dengan sunatullah yang lain yaitu usaha keras bangsa Eropa dan Amerika
dalam penguasaan berbagai macam disiplin ilmu. Salah satunya adalah
sains.
Oleh
karena itu, umat Islam harus mengusahakan agar roda itu terus berputar
hingga suatu saat nanti giliran umat Islam berada pada posisi diatas
dengan cara memadukan Islam dan sains melalui sistem pendidikan.
Sehingga Umat Islam dapat menggenggam dunia dengan sistem yang lebih
baik dari sekarang. Dan perlu dingat, bahwa Allah tidak akan mengubah
keadaan suatu kaum, bila kaum itu yang merubah keadaannya sendiri.
Dan
yang sampai sekarang bergolak dalam dada penulis, kapan Rifaiyah akan
melakukan rekonstruksi untuk menuju dan ikut serta menorehkan tinta emas
dalam percaturan sejarah nasional ?. Sekali lagi, sambil bergumam dalam
hati sembari memejamkan mata membangun imajinasi yang rupawan tentang
Rifaiyah, penulis mengajak semua intelektual Rifaiyah untuk bersatu dan
bersama membangun warisan sang guru ini.
Wallohu A’lam
0 komentar:
Komentar dan Saran Anda
Tinggalkan komentar dan saran anda mengenai artikel ini ...