“Hai
orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya
(kaaffah), dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan
itu musuh yang nyata bagimu.”
(Q.S. Al-Baqarah [2]: 208)
Pribadi
muslim kaaffah adalah
sosok umat Islam yang ideal dan diharapkan tumbuh dalam setiap individu.
Pembahasan tentang bagaimana muslim kaaffah ini
diungkapkan dalam kuliah umum bersama Dr. Ing. Suparno Satira, DEA yang
bertemakan Muslim Kaaffah Persepsi Saintis di GSS D, Kompleks Masjid Salman ITB,
Senin (18/2).
***
Kaaffah dalam bahasa diartikan
“seluruhnya”, “semuanya”, “holistik”, atau “menyeluruh dalam seluruh
keadaan”. Hal ini mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Dalam konsep
pribadi muslim kaaffah, wilayahnya meliputi jasmaniyah (fisik), ruhiyah (psikis), dan rububiyah(spiritual).
Tak
hanya itu, apabila dijelaskan lebih detil maka akan meliputi semua kebutuhan
(fisik, psikis: emosional, spiritual: dzikir, fikir, dan dhamir), semua aspek kehidupan (ekonomi, sosial
kultural, teknologi, hukum, politik, dan sebagainya), semua fungsi dan peran
(atasan, bawahan, kolega, anak, orang tua, dan sebagainya), serta berlaku untuk
semua waktu (malam, pagi, siang, kapan pun). Ruang lingkup ini tentunya akan
membangun keunggulan individual dan keunggulan umat Islam.
Hipotesis awal tentang
keunggulan tersebut bisa dilhat dari berbagai tanda. Mulai dari alam semesta
yang diciptakan dengan tujuan dan keadaan terbaik. Kemudian Islam merupakan
agama dari Allah Swt. Lalu tuntunan yang dimiliki Islam paling sempurna, dan
umat Islam adalah umat terbaik sepanjang zaman. Penegasan Nabi Muhammad sebagai
penyampai risalah keislaman yang merupakan rasul terbaik dan penutup dapat
menguatkannya, karena apabila ada rasul setelah beliau, tentunya harus
mempunyai ajaran yang lebih baik dari Islam.
Ke-kaffah-an Islam tidak hanya mengajarkan sesuatu yang
bersifat ritual atau ibadah saja. Tetapi juga keilmuan-keilmuan yang bersifat
saintik. Hal ini dijelaskan pada empat wahyu awal yang diturunkan Allah Swt
kepada Nabi Muhammad Saw.
Wahyu
pertama, Surat Al-Alaq, Allah memerintahkan manusia untuk “membaca”
atau belajar dan memahami objek-objek di alam karena manusia memiliki kemampuan
untuk menangkap sinyal (insyarat) dari-Nya. Wahyu kedua, Surat Al-Qolam, Allah
mengingatkan bahwa ilmu bisa membuat manusia lupa daratan sehingga harus
berhati-hati dalam menyikapinya. Wahyu ketiga, Surat Al-Muzzammil, Allah
menyuruh manusia bangun tengah malam untuk berkontemplasi tentang ciptaan-Nya
yang tak sia-sia. Wahyu keempat, Surat Al-Muddatstsir, Allah memerintahkan pengkajian untuk
menyampaikan suatu ilmu. Konsep penyampaian di surat itu tidak hanya berlaku
bagi para mubalig dalam berdakwah saja.
Adanya petunjuk dari
Allah kepada Nabi Muhammad ini, bukan kepada nabi-nabi sebelumnya, disebabkan
beberapa hal. Umat dahulu belum meimiliki pengalaman yang cukup. Kemudian
fasilitas belum cukup untuk berkembang (baik secara kuantitas maupun kualitas).
Lalu komunikasi masih sangat terbatas, tuntunan yang harus konkrit, verbal dan
visual (maka diutuslah para Rasul). Hingga belum ada keterbukaan sains yang
baku disebabkan iptek pada saat itu terkumpul pada elit atas saja.
Lain halnya setelah
pasca Nabi Muhammad. Umat saat itu telah mempunyai cukup pengalaman dan matang.
Kemudian komunikasi antar kelompok mulai terbuka dan luas. Serta IPTEK sebagai
sistem nilai mulai dibangun hingga terstruktur. Ini dapat dilihat dari
banyaknya ahli pada bidang sains dari para ilmuwan Islam, seperti Aljabar dan
Alkhawarizmi pada bidang matematika, Ibnu Sina pada bidang kedokteran, dan
sebagainya.
Sekarang, banyak
orang yang berpendapat bahwa Islam belum berkembang sedangkan barat-lah yang
memimpin dalam hal sains. Padahal, dahulu Islam yang menjadi kiblat dan sumber
ilmu pengetahuan. Hanya saja, banyaknya ilmuwan yang takut mengembangkan
keilmuannya karena takut syirik. Hingga adanya serangan bangsa Mongol yang
memusnahkan aset-aset ilmu pengetahuan umat Islam merupakan beberapa penyebab
kemerosotannya. Sementara itu, pihak barat terus mengembangkan ilmu pengetahuan
yang didapatinya dari Islam.
Sainstek dalam persepsi Islam
Pada
sains dan teknologi dalam persepsi Islam, aqidah atau
keyakinan merupakan landasan tertinggi dalam menetapkan aturan atau kaidah
keilmuan. Terkait dengan ini, Allah secara terbuka menyuruh manusia mencari
ilmu pengetahuan lewat insyarat-insyarat yang disampaikan-Nya. Aturan mainnya
bahkan telah ditetapkan.
Hal ini berujung
kepada suatu keinginan berkualitas yang memiliki jenjang: keinginan membangun
imajinasi, imajinasi membangun model, model menuntut deskripsi/kriteria, kriteria
membangun suatu aturan, keinginan menuntut upaya, lalu aturan sebagai kendali
mutu. Tentunya juga tak luput dari sifat ilmiah, seperti objektif, taat asas
dan berkelanjutan.
Proses
pembudayaan ke-kaaffah-an dalam
keilmuan harus mengikuti kaidah ilmiah pula. Mulai dari sifat ilmiah, metode
ilmiah, perilaku dalam tradisi ilmiah hingga berinteraksi dalam kesetimbangan
yang akan membentuk knowledge based society (masyarakat
berbasis pengetahuan). Prosedur ini akan bermuara pada hukum Allah (sunnatullah) yang berlaku dalam kehidupan manusia.
*Disarikan dari Kuliah Umum: Muslim Kaaffah dalam Persepsi Saintikdan
dokumen presentasi Membangun Pribadi Muslim Kaafah karya Suparno Satira.
0 komentar:
Komentar dan Saran Anda
Tinggalkan komentar dan saran anda mengenai artikel ini ...