Gagasan
tentang kebahagiaan tak lepas dari cinta dan kasih sayang. Memberi kebahagiaan
adalah hakikat dari cinta itu sendiri. Cinta mendorong seseorang untuk
memosisikan kepentingan diri di bawah kepentingan yang dicintai. Sehingga,
apapun akan dilakukan dengan rela hati. Hal ini berlaku untuk siapapun, baik
makhluk maupun Allah SWT, Tuhan semesta alam.
Pandangan
tentang cinta dan kebahagiaan itu disampaikan Haidar Bagir pada acara Diskusi
Islam Risalah Cinta dan Kebahagiaan, yang merupakan rangkaian Festival Tasawuf
Keliling 30 tahun Mizan di GSG Salman ITB, Jum’at (19/4). Haidar mengajak kita
untuk merenungi kembali makna kehidupan. Tak bisa dipungkiri bahwa semua
makhluk di dunia ini hidup dalam orientasi mengejar kebaikan tertinggi yaitu
kebahagiaan.
Haidar
mengingatkan, kebahagiaan bukanlah sesuatu yang bersifat materi. Kebahagiaan
tak bisa disejajarkan dengan kumpulan kenikmatan yang dirasakan seseorang
secara lahir. Bukan juga kenikmatan sesaat. Sebaliknya, kebahagiaan merupakan
unsur intrinsik di dalam hati manusia. Jika seseorang sudah meraihnya,
kebahagiaan akan tetap lestari meskipun ia hadapkan dengan permasalahan
kehidupan.
“Kebahagiaan
dalam islam hakikatnya adalah ibadah. Ibadah kepada Allah sesungguhnya adalah
memasukan rasa bahagia kepada manusia yang hancur hatinya.” Ungkap Haidar.
Pada diskusi yang
dimoderatori oleh Al Fathri Fadlin ini, hadir juga
Yasraf Amir Piliang sebagai pembicara. Yasraf mengungkapkan realitas hilangnya
budaya cinta kasih pada diri umat islam. Menurutnya, merupakan akibat dari
kurangnya akses pengetahuan umat islam pada era post modern ini.
“Orang
kehilangan cinta, kebahagiaan dan rasionalitasnya karena orang tidak suka lagi
pada pengetahuan dan ilmu. Cinta di implementasikan hanya sebatas pada kepuasan
semata, dan persfektif kebahagiaan saat ini sudah di reduksi menjadi materi,”
jelas Yasraf pada sesi bicaranya.
Membangun budaya cinta dan
kebahagiaan
Bagi
Haidar, cara yang tepat untuk meraih kebahagiaan adalah dengan menanamkan rasa
syukur di dalam hati. Apapun yang telah kita capai hendaknya disyukuri. Sikap
batin semacam inilah yang menurutnya mampu meredam segala hal yang berpotensi
menimbulkan kegelisahan dalam hidup.
Dalam
Al-Quran Allah menegaskan bahwa sebenarnya hidup dan mati tak lain untuk
menguji hamba-Nya. Siapa yang paling sempurna amalnya. Namun, realita
menunjukkan banyak di antara kita yang lalai. Kita terhasut lalu terjerumus dan
tenggelam dalam perilaku mengumbar nafsu. Pengejaran pengejaran yang bersifat
duniawi mengalahkan fitrah manusia yang selalu merindukan kesempurnaan dan
ketentraman spritual.
“Alam
semesta ini sebenarnya tercipta karena cinta Allah. Kasih sayang-Nya meliputi
relung-relung alam semesta ini. Maka dari itu, apapun yang diciptakan Allah
adalah kebaikan yang lahir dari kasih sayang-Nya,” kata Haidar yang juga
pengajar tasawuf itu.
Selalu
berbaik sangka kepada Allah SWT pada segala hal yang menimpa hidup kita,
mencurahkan kasih sayang kita kepada orang lain, dan membudayakan cinta mulai
dari keluarga dan lingkungan terdekat adalah upaya untuk membangun suasana
cinta kasih dalam tubuh umat islam.
Saepul
Hamdi, salah seorang peserta menyatakan diskusi ini sangat penting untuk
mengubah persfektif masyarakat luar. Islam adalah agama cinta damai.
“Saya gak ngerti sepenuhnya mengenai tasawuf. Tapi dalam
diskusi tadi menegaskan kembali kalo islam adalah
agama yang penuh cinta. Diskusi seperti ini harus sering diadakan supaya
pandangan terhadap islam yang penuh kekerasan terpatahkan,” ungkap Saepul.
0 komentar:
Komentar dan Saran Anda
Tinggalkan komentar dan saran anda mengenai artikel ini ...