Berita Terkini :
Home » , , » Katanya Aku Negri_ Oleh Bambang Sutrisno

Katanya Aku Negri_ Oleh Bambang Sutrisno

Written By Unknown on Wednesday, May 8, 2013 | 10:33 AM



“Hai sobat…!” hari ini begitu indah bagiku, mentari yang semula bersembunyi dalam semalam kini telah menunjukan hidungnya yang moncong itu kembali, “ah…” desahku. Aku tak mengerti, yang Aku tau hari ini membuatku sangat merindukan sesuatu yang berbeda dari hari-hari sebelumnya. Entah, Akupun tidak tau apa sebenarnya yang Aku inginkan itu, yang pasti Aku menginginkan perubahan dalam diriku perubahan yang belumpernah Aku rasakan, menjadi Negri yang lebih beruntung atau juga menjadi Negri yang lebih berguna boleh juga menjadi Negri yang selalu bernasip baik. “Aii…!” anganku mungkin terlalu tinggi untuk menjadi itu semua, tapi yang pasti Aku ingin berubah.

Kukatakan pada diriku yang mungil ini sebuah cita dan asa yang mungkin atau tidak akan kuraih, satu pesan yang akan kujadikan semangat dalam hidupku berubah untuk menjadi yang lebih baik. Sungguh hanya kata perubahan itu yang selalu ada dalam ingatanku, sehingga Aku lupa akan namaku sendiri, terkadang orang lain memanggilku dengan nama yang asing bagiku bahkan tak pernah Aku dengar sama sekali. Tapi itulah Aku, sebagai Negri yang terbuang oleh jaman tak semua yang Ku jalani akan dihargai dan tak semua yang kulakukan akan mendapatkan apresiasi, ya… begitu kata orang yang pernah Aku dengar melintas di daun telinga mungilku ini.

Jalan berliku mengawali langkahku menuju detak jantung di pulau tua yang mengukir sejarah lama Bangsaku ini. Bangsa yang begitu megahnya, Bangsa yang beradab, bangsa yang memiliki beribu ragam corak budaya dan bahasa yang menyebar di pelosok-pelosok Negri ini sejajar dengan garis merah pada detik sejarah, sebut saja garis katulistiwa. Bukan hanya itu saja bangsa yang luhur ini juga menyimpan begitu banyak titian-titian prasasti yang begitu indah, indah dari sudut pandangnya, indah dari nilai historisnya, indah dari akar budayanya, indah dari pemikirannya yang membuat bangsaku ini menjadi bangsa yang berbudi luhur.

            “Hai sobat…!” aku ingin bercerita tentang bangsa ini, kota tua di ujung bangsa yang luhur ini, kota kecil yang sempit, kota yang pengap dengan kesederhanaan, kota yang bising akan keramahan, kota yang ramai akan senyuman, kota yang membuat aku menginginkan kasih sayang, kasih sayang dari pujian pemimpin kita, kota ini menjunjung tinggi golongannya, dan kota yang selalu berkata “aku hidup sendiri disini, aku jua hidup untuk masa ku nanti, aku ingin menjadi pribadi megah dengan kelompokku tapi tidak mereka”. Jadi yang bukan golongannya bagai mana?

Aku tidak mau bercerita tentang kota itu yang penuh dengan kemunafikan. Aku ingin bercerita tentang gadis kecil yang menjadi penari di jalanan dengan baju tua yang hampir saja lusuh, sedikitlagi akan berbau busuk, mengakar dari budaya yang dibawanya dari desa demi mencari logam rupiah untuk kelangsungan hidupnya. Bajunya bercorak morai dengan tenun berukir di selendangnya itu, tenun berukir yang menyampaikan pesan untuk semua orang yang menyaksikan laganya di trotoar jalan, gadis itu berlaga di pemukiman yang sebut saja asri itu. Selendang putih yang melambai-lambai bak ranting cemara di tepian pantai mengayun-ayun ketika dibelai oleh lembutnya semilir angin pantai dan terhampar luas gurun pasir putih yang sesekali menyanyi dengan riak ombak pantai, seakan tiada hentinya semangatnya untuk meyampaikan pesan tua itu “selamatkanlah budayaku”.

            “Hai sobat…!” Ketika teriakan dari celah-celah tubuhku ini mengingatkanku tentang budi luhur diriku dahulu yang diperebutkan oleh begitu banyaknya harapan dan mimpi para pejuangku dulu. Mereka menjadikanku sebagai lahan untuk menumpahkan darah serta mengorbankan begitu banyak materi dan orang-orang yang mereka kasihi hanya untuk membela diriku menjadi sebuah Negri yang luhur dan berbudaya yang takkan pernah terhitung nilainya untuk dijadikan kepingan materi ataupun kekayaan bagi diri mereka. Kala itu yang mereka tau hanyalah membebaskanku dari belenggu ketidak adilan dan menjadikanku bebas serta merdeka. Semangat mereka saat ini terpatri ditubuhku yang hampir renta ini yang berharap ada semangat baru yang melahirkanku menjadi  sosok baru seperti yang aku idam-idamkan saat ini.

            Aku juga ingin bercerita tentang bangsaku ini yang memiliki beribu pulau yang sangat dibanggakan oleh dunia, yang membentang digaris merah milikku yang telah terkenal sejak dahulu. Kalau aku bercerita tentang bangsaku ini, begitu indahnya takkan mungkin dapat kuungkapkan dengan garisan kata-kata ataupun bait puisi untuk mengatakan bangsaku ini indah, bangsaku ini kaya, bangsaku ini makmur, bangsaku ini ramah, bangsaku ini hebat, bangsaku ini begitu istimewa bagiku. Terlalu banyak kata yang mampu tersusun menjadi rangkaian balaok-balok kata yang begitu menarik untuk di simak. Namun, ini ceritaku tentang bangsaku yang takakan mampu ku tuliskan dalam bait-bait yang tersusun manis dan rapi bagaikan para penyair yang memuja keindahanku dalam karyanya yang begitu istimewa bagiku.

            Mereka semua bercerita tentang diriku yang memiliki pantai yang menyimpan keindahan alam yang tak dapat diukur oleh keindahan permata sekalipun, nyiur tanganku seakan melambai menjadikanku mentari yang selalu ada dalam hati dan jiwa mereka yang sangat membuatku tersenyum dari apa yang telah mereka hasilkan. Aku Negri yang dipuja karna mereka, karna mereka aku bisa menjadi tersenyum banga akan prestasi mereka di Negri-Negri yang lain yang memuji akan prestasi dan kecemerlangan ide bangsaku ini. Ya, bangsaku yang aku ceritakan ini bukanlah bangsa yang menjadi pribadi yang lemah, karna ku tau bangsaku bukanlah bangsa yang pantang menyerah, ia akan terus membuatku bangga menjadi Negri yang hakiki demi bangsa yang berbudi.

            “Hai sobat…!” aku juga ingin bercerita tentang perjalanku kalaku masih meniti perjuangan di titik-titik semangat yang tumbuh dari para pejuangku yang lalu. Bangsaku juga memiliki semangat juang itu hingga kini yang dapat dilihat tegak berdiri kokoh dalam prasasti tua yang masih saja menjadi kanku tetap bersemanagat untuk bercerita tentang bangsaku ini. Semangat mereka tersebar di pelosok-plosok tubuhku ini, yang di abadikan dengan monument-monumen yang begitu megahnya, menjadikanku lebih yakin bahwa semangat bangsaku ini untuk menjadikanku Negri yang kuharapkan dan ku ipikan akan terwujud. Semangat yang masih tersimpan di pelosok-pelosok tubuhku yang mengalir darah perjuangan dan semangat kebersamaan masa lalu dikala aku menjadi incaran serta tujuan Negri lain yang ingin membunuhku dan mengklaimku menjadi miliknya. Tapi karna semangat merekalah aku bisa hidup sampai saat ini, hingga semua bisa tau inilah bangsaku yang aku ceritakan saat ini dan yang di perjuangkan dahulu oleh para pelopor pejuangku dahulu, mereka dengan semangat membebaskanku dari ketidak senonohan menjadi Negri yang dicintai dan dikasihi saat ini.

            Ceritaku tentang pejuangku dahulu bukan hanya itu saja, Aku ingat mereka rela menyerahkan potongan-potongan tangan bahkan kepalanya untuk menjadikanku terbebas dari belenggu kotor masalalu. Mereka membela semua yang ada dalam tubuhku ini mulai dari langit-lagitku yang biru terbentang tanpa batas, bumiku yang tersusun dari ribuan pulau-pulau kecil dan besar, airku yang mengalir dari lembah-lembah tubuhku, udaraku yang menjadikanku tumpuan untuk hidup mereka, itu semua mereka menjaganya demi kelangsungan hidupku dan jati diriku kala itu. Itulah pejuangku, Aku memiliki bangsa yang sangat kuat, hingga Aku tau bahwa bangsaku ini bukanlah bangsa yang bisa dijadikan mainan dalam bentuk apapun dikala itu.

            “hai sobat…!” Aku masih ingin bercerita bagaimana diriku memiliki bangsa yang tak akan pernah ada habisnya untukku bercerita, bukan hanya kau yang tak mampu berhenti bercerita tentang bangsaku ini. Namun, semua Negri yang telah mengenalku, mereka menjadikanku sebagai tujuannya untuk memandang cakrawala yang hadir di tepian langitku yang aku mililiki, yang menghampar kepingan-kepingan kelangsungan hidupku untuk bangsaku ini yang takkan pernah aku lupakan. Bukan saja aku bercerita tentang bangsaku yang luhur ini. Namun, semua yang mendiami bangsaku ini dari balik tubuhku yang terbentang dari sabang hingga marauke yang telah tercipta dalam bait lagu kebangsaan yang menjadikan bangsaku berbeda namun tetap satu semangat yakni dalam ikatan kebersamaan dalam susunan dan kata indah lima kata yang di jadikan pijakan di bangsaku yang mereka menyebutnya pancasila itu.

            Bukan itu saja, bait kata yang menjadikan tumpuan hidup mereka yang mendiami bangsaku ini bukan hanya dari satu golongan saja, ini juga yang membuatku bangga menjadi sosok Negri yang besar ini, dari budaya yang hidup mereka dahulu tetap satu dalam tujuan walau kutau mereka berbeda aliran dan pemahaman baik dalam nilai keyakinan dan nilai kebiasaan sebut saja adat istiadat dan Agama dikalangan pejuangku dahulu. Namun lagi-lagi semangat mereka hanya satu yakni menjadikan ku hidup dalam kedamaian dan ketentraman serta menjadikan ku hidup tersenyum dalam ikatan persaudaraan tanpa kenal yang dikatakan sebagai ras maupun golongan itu yang ada dalam niat suci para pejuangku dahulu yakni merdeka, merdeka dari penindasan, merdeka dari ketidak adilan, merdeka dari kebebasan beribadah, merdeka dari kebebasan berkarya, merdeka dari permusuhan, dan bersatu, bersatu dalam keharmonisan, bersatu dalan tujuan, bersatu dalam keselarasan, bersatu dalam pemahaman, bersatu dalan keputusan, bersatu dalam ikatan “kita Bangsa Indonesia” buakan bangsa yang berpecah belah. Bukan bangsa yang tak menjujung budaya sendiri, bukan malu akan budaya sendiri, bukan malu akan dirisendiri pada bangsa lain. Tapi mereka malu kalau mereka itu pejuangku tak mampu bersatu. Apakah saat ini masih ada?

            “Hai sobat…!” kini ku merindukan bangsaku yang dulu, tapi aku juga takmau menjadi bangsa yang terpaku dengan masalalu. Karna, bangsaku kini telah menjadi cahaya intan yang tiada tara dari bangsa yang lain. Sebenarnya ingin kucerita semua tentang bangsaku yang menjadi darah dagingku ini. Dari semua yang dilakukan oleh pembangun bangsaku yang dahulu dan saat ini. Aku masih memiliki cerita yang begitu indah tentang bangsaku saat ini.

            Sorak-sorai yang melantang dari bibir manis yang mulai menari indah dalam tumpuan semangat baru terjalin kokoh dalam semangat bak letupan gunung Krakatau yang mengubah peradaban kala itu yang pasti mereka bernyanyi merdu mengiringi langkahku yang masih jauh kedepan. Untuk menggapai mimpiku dikala ku terpaku dalam kursi harapan yang memerhatikan mereka-mereka sejarawan yang baru serta pembangunku yang baru.

            Aku juga ingin bercerita sedikit lagi tentang seorang pemuda paruh baya yang mendiami tubuhku ini. Kala senja menyingsing, ia selalu hinggap di tepian pantai ku yang berpagarkan pohon kelapa serta dikawal tegapnya cemara mengayun indah, serpihan ombak pantai yang selalu menyapa kehadirannya dengan sorak morai kegembiraan yang tiada dapat diukur dengan langkah baru yang begitu istimewa. Bukan hanya mereka dilangitkupun burung-burung berkicau ria menyampaikan pesan kegembiraannya kepada sosok pemuda itu untuk disampaikan dan diceritakan kepada keluarganya yang selalu setia menanti disangkar-sangkar yang begitu anggun. Hingga seluruh pelosok negri ini tau ia saat itu sedang berada di tepian pantai itu. Dibalik lautku yang luas juga ikan-ikan menari beriringan dengan gelombang lautku yang mengayun-ayun rapi setara bersama menyambut pemuda paruh baya itu.

            Pantaiku dan pesonaku yang begitu dipuja membuat pemuda itu menghela napas leganya dapat hidup dihimpitan gunung-gunung yang menjulang bak menara yang begitu kokoh, serta begitu indahnya tubuhku untuk dicumbu demi masa depan mereka semua orang yang hidup memperjuanggkan diriku menjadi Negri yang berwibawa. Mereka semua adalah masadepanku kini dan nanti.

            Ia, pemuda separuh baya yang kuceritakan ini selalu hadir ditepian pantaiku ini, ia selalu saja berdiri dan menghela napasnya, seakan ia merasakan sebuah kepuasan yang tidak dapatkuceritakan lagi. Tapi kini pemuda separuh baya itu tak mampulagi untuk bergerak normal, tubuhnya terbungkus oleh kain putih yang membalutnya rapi. Ia seakan terbaring menghela napas terakhirnya dipembaringan yang begitu nyaman itu. Ia selalu tersenyum melihatku. Pesan terakhirnya yang mampu terucap dari bibirnya yang manis itu hanyalah “Jagalah Negriku …”.


Karya Bambang Sutrisno (BS Ariga Mr)
Bagikan Artikel Ini :

0 komentar:

Komentar dan Saran Anda

Tinggalkan komentar dan saran anda mengenai artikel ini ...

English French German Italian Portuguese Japanese Korean Arabic

FACE

 
Blog ini Milik: Mas | Bambang | Sutrisno
Diberdayakan oleh Blogger
Copyright © 1989-2014. Pemulung Aksara - All Rights Reserved
Terimakasih Sudah Berkunjung Ke Blog Ini, Salam dari Saya Bambang Sutrisno